Berangkat dari rasa penasaran untuk
mengetahui seluk beluk sejarah pagelaran Tradisi Panggarra Pandang di Kabupaten
Kepulauan Selayar, selama semalaman suntuk, wartawan media ini mencoba
mengikuti seluruh prosesi yang menyertai kegiatan yang telah menjadi tradisi
turun temurun di kalangan masyarakat Dusun Tenro, Desa Bontolempangang,
Kecamatan Buki tersebut.
Bagaimana dan apa saja rangkaian acara
sesunggunya ??
Berikut , laporan lengkap fadly syarif,
langsung dari Dusun Tenro, Desa Bontolempangang.
Keanekaragaman khasanah budaya Kabupaten Kepulauan
Selayar, Sulawesi-Selatan merupakan sebuah realita yang tak dapat dipungkiri
keberadaannya. Hal tersebut kembali
dibuktikan pada penyelenggaraan Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW 1433 di Dusun Tenro, Desa
Bontolempangang, Kecamatan Buki yang begitu banyak menunjukkan perbedaan
dibandingkan dengan perayaan maulid di desa-desa lain di dalam wilayah
Kabupaten Kepulauan Selayar.
Dikatakan
demikian, sebab kegiatan peringatan Maulid Panggara’ Pandang yang biasanya
dipusatkan di dalam areal masjid, malah sebaliknya dipusatkan di tempat
terbuka, tepatnya di pelataran Baruga Sayang, Desa Bontolempangang.
Selain
lokasi kegiatan yang tidak terpusat di dalam ruangan masjid, prosesi budaya
maulid panggarra pandang kali ini tampak sangat jelas menunjukkan perbedaan
dengan terjadinya pemisahan tempat antara pelaku rate’ atau pelaku barasanji
dengan pelaku panggarra pandang yang terdiri dari 20 orang gadis berusia belia
antara sebelas sampai lima belas tahun ke atas.
Bila
pelaku barasanji berada di dalam gedung baruga sayang, sebaliknya pelaku
panggarra pandang sengaja ditempatkan di areal pekarangan baruga yang duduk
beralaskan tenda plastik berwarna biru.
Para
pelaku panggarra pandang ini duduk berderet memanjang dari utara ke selatan
dengan mengenakan beraneka ragam jenis pakaian adat sulsel, mulai dari baju
bodo sampai pakaian la’bu.
Sementara
itu, di depan mereka duduk lima orang pria remaja yang didudukkan sebagai
patanra’, lengkap dengan busana kopiah dan sarung yang menutupi tumit mereka
sebagai simbol penghargaan kaum pria terhadap remaja putri yang berada
dihadapan mereka.
Ditangan
mereka tampak dan sebatang kayu berlubang kecil yang merupakan salah satu alat
bantu pelengkap sempurnanya prosesi budaya panggarra pandang di wilayah itu.
Pemandangan berbeda juga tampak terlihat di dalam ruangan gedung baruga sayang
yang diwarnai dengan kehadiran dua puluh orang tokoh masyarakat, tokoh adat,
alim ulama yang dihadirkan sebagai pelaku rate’ atau pelaku barasanji.
Mereka
didudukkan dalam dua kelompok yang diistilahkan dengan penghafal kitab
barasanji. Ditengah lingkaran pelaku barasanji, tampak dihadirkan pula empat
buah kitab barasanji beralaskan bantal yang merupakan pedoman dasar bagi para
pelantun syair-syair barasanji dalam menamatkan bacaan sarakah setebal kurang
lebih tujuh puluh satu halaman yang turut dimeriahkan dengan iringan alat musik
rebab.
Di
luar kitab barasanji dan alat musik rebab, tampak sebatang lilin putih, berikut
baki bundar tertutup selembar kain putih yang isi dalamnya berisi pisang susu
atau yang dalam dialek bahasa Selayar kerap diistilahkan dengan sebutan loka
dadi.
Selain
itu, terdapat pula setumpuk potongan tebu dan songkolo beras ketan putih yang
turut menjadi pelengkap kemeriahan acara puncak Peringatan maulid panggarra
pandang tingkat Dusun Tenro tahun 2012.
Satu
hal lain yang juga tampak berbeda, sebab dalam penyelenggaraan acara tersebut
sama sekali tidak terlihat adanya dupa ataupun kemenyam di tengah lingkaran
pelaku barasanji.
Tokoh
warga masyarakat Dusun Tenro bernama Baso D menuturkan, “Budaya rate’ tumbuh pertama kali, saat Rasulullah SAW
hijrah meninggalkan tanah mekah menuju Madinah
Pada saat bersamaan, kedatangan Rasulullah SAW bersama pasukannya
langsung dijemput oleh sedikitnya 44 orang anak darah”.
Anak
darah inilah yang kemudian bertugas melakukan prosesi pembersihan dan pencucian
senjata pasukan Nabi Besar Muhammad SAW.
Tanpa ada yang menyadari, hari kedatangan Rasulullah SAW ke tanah
Madinah hari itu, ternyata ertepatan
dengan hari kelahirannya yang untuk kali
pertama itu pula di peringati dengan melantunkan lagu sarakah.
Penamaan
Sarakah sendiri diambil dari nama salah seorang yang sangat memusuhi Rasulullah
SAW bersama pasukan pengikutnya. Hingga pada suatu hari, sarakah tiba-tiba
terjatuh, saat dirinya berusaha lari dari kejaran pasukan Rasulullah SAW.
Melihat
peristiwa tersebut, Rasulullah SAW dengan sikap arif dan bijaksana datang
membangunkan Sarakah. Atas dasar pemikiran tersebut, dilarang ataupun tidak
oleh organisasi Muhammadiyah, masyarakat Dusun Tenro tetap bersikukuh untuk
melestarikan budaya rate’ dan budaya dinging-dinging.
Pria
berusia paruh bayah kelahiran tahun 1923 silam ini menuturkan, budaya rate
pertama kali masuk ke Dusun Tenro, pada saat datangnya penyebar agama Islam
pertama ke tanah Selayar yang dikenal dengan sebutan Datu Ri Bandang.
Pada
saat itu, kampung Tenro diperintah oleh seorang pemimpin yang enggan
menyebutkan nama dan jati dirinya sampai dia tutup usia. Setelah mangkat,
kepemimpinannya kemudian dilanjutkan oleh keturunannya.
Baru
belakangan, pemerintahan di kampung Tenro dipegang oleh orang yang bukan
keturunan dan tidak memiliki pertalian darah dengan sang raja. Sosok pemimpin
asal Kabupaten Gowa ini selanjutnya digelar dengan sebutan Opu Bakka Tenro.
Nama
Opu Bakka Tenro, kemudian diabadikan oleh masyarakat setempat sebagai nama
jalan, bersama nama lain, yakni Krg. Langkasa, jelas Baso kepada wartawan belum
lama ini.(fadly syarif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar