Jumat, 02 Maret 2012

Pagelaran Tradisi Maulid Pangngarra’ Pandang Antara Budaya & Daya Tarik Wisata


Kekayaan dan kebesaran khasanah budaya Kabupaten Kepulauan Selayar kembali ditonjolkan dalam serangkaian kegiatan Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW 1433 H di daerah ini yang digelar dalam bentuk tradisi Maulid Panggarra’ Pandang.
Sebuah tradisi turun temurun yang telah mulai ditumbuh kembangkan oleh masyarakat Dusun Kaburu, Desa Kaburu, Kecamatan Bontomanai sejak saat pertama kali masuknya syiar Islam ke Kabupaten Kepulauan Selayar.
Tak heran, bila tradisi rate yang memeriahkan peringatan Maulid Panggarra Pandang di Desa Kaburu, sedikit banyak mengalami perbedaan lirik dengan rate yang digelar di desa lainnya.
Sebab liriknya, masih merupakan warisan murni budaya Gantarang Lalang Bata sebagai pusat awal berkembangnya syiar agama Islam  di Kabupaten Kepulauan Selayar. Meski pada akhirnya, lirik rate ini mulai banyak dirubah oleh warga masyarakat di kampung lain.
Terlebih lagi, setelah masuknya salah seorang penyebar agama Islam bergelar Saiyed yang selanjutnya tinggal mendiami Desa Parak dan mulai menumbuh kembangkan tradisi barasanji ini.
Perayaan Maulid Panggarra Pandang ini tak lebih dari sekedar budaya warisan leluhur yang prosesinya tak pernah lepas dari iringan lantunan lagu-lagu pujian dalam bentuk tradisi barasanji yang turut dimeriahkan oleh dua buah alat musik bantu tradisional berupa rebab.
Selain juga, terdapat sedikitnya lima buah kitab barasanji yang merupakan pedoman bagi para pelaku baransi, tatkala sedang melantunkan lagu-lagu pujian kepada Rasulullah SAW sebagai nabi panutan terakhir sepanjang masa.
Kelima kitab barasanji tersebut sengaja diletakkan diatas alas bantal sebagai simbol penghormatan Ummat Islam terhadap kitab berisi puji-pujian kepada Rasul panutan sepanjang zaman itu.
Sementara itu, dibelakang kelompok pelaku barasanji duduk 19 orang remaja berusia belia dan beberapa orang remaja putra yang bertindak sebagai pelaku Panggarra’ Pandang yang sekaligus menjadi pelengkap kehadiran 20 orang pelaku barasanji yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan alim ulama di kampung tersebut. 
Sedang di tengah lingkaran pelaku barasanji terlihat penempatan dua buah baki bundar berisi pisang susu atau yang dalam dialek bahasa Selayar, kerap diistilahkan dengan sebutan loka dadi’. Sedangkan, baki kedua diisi dengan songkolo beras ketan putih yang ditutup dengan penutup plastik, berikut  selembar kain putih di atasnya.
Kedua makanan tradisional yang diletakkan tepat ditengah-tengah lingkaran pelaku barasanji dengan beralas baki ini selanjutnya akan disajikan kepada kelompok pelaku barasanji dan tamu-tamu undangan lain, setelah ditamatkannya pembacaan barasanji (sarakah) yang biasanya baru berakhir pada pukul 04.00 subuh.
Sajian makanan tradisional seperti ini biasanya disuguhkan bersamaan dengan teh atau kopi maupun kue-kue tradisional Kabupaten Kepulauan Selayar lainnnya, semisal : kue tolobang rampa, pawa dan kue bolu.
Acara peringatan maulid seperti ini, biasanya diselenggarakan selama dua hari. Dimana hari kedua adalah merupakan acara puncak atau inti dari seluruh rangkaian acara sebelumnya. Kegiatannya sendiri, digelar sekira pukul 16.00 wita, atau ba’da shalat Ashar.
Di hari kedua, acara kembali diawali dengan tradisi A’rate dengan mengalunkan lagu-lagu pujian terhadap Rasulullah SAW yang rutin diperingati hari kelahirannya pada setiap bulan Maulid.
Dalam prosesi A’rate untuk hari kedua, pelaku barasanji tinggal akan menamatkan bacaan jus pertama kitab barasanji atau yang bagi masyarakat lokal setempat, kerap diistilahkan dengan bacaan sarakah.
Pada saat bersamaan, Jamaah pelaku barasanji akan berdiri dengan posisi berbanjar atau memanjang untuk melakukan penamatan bacaan atau yang  dalam istilah Arabnya disebut “Peho”.
Berbeda dengan rangkaian acara sehari sebelumnya, pada acara puncak semua jenis makanan tradisional seperti songkolo beras ketan putih dan songkolo beras ketan hitam akan dihadirkan lengkap di dalam ruangan masjid dalam bentuk kemasan bakul dan keranjang berbahan baku anyaman bambu.
 ratusan telur hias yang pada bahagian ujung atasnya dipajang selembar uang kertas pecahan seribu rupiah. Berikutnya, dihadirkan pula ilustrasi kubah Masjid bersusun dua dengan pernak-pernik baju kaos dan makanan ringan yang menggelantung pada bagian bawahnya.
Sebagai pelengkap kemeriahan acara inti, masyarakat setempat juga tak luput menghadirkan puluhan sisir pisang punu’ atau yang dalam dialek bahasa Selayar akrab diistilahkan dengan sebutan loka punu’. Pisang-pisang ini diletakkan di dalam wadah puluhan biji baki bundar.    
Tak hanya pisang, kemeriahan acara inti juga turut diwarnai dengan kehadiran buah mangga dan buah nanas. Berikut, kehadiran lima unit rumah-rumah hias yang diisi dengan pisang punu, songkolo, kue tolobang, rokok gudang garam merah, dan korek api.
Serta tidak ketinggalan pula, perlengkapan dupa dan lilin yang tepat diletakkan di bagian kolongnya. Menurut tokoh adat kampong itu, H. Baso Daeng, konon ritual semacam ini adalah simbol penghormatan masyarakat Dusun Kaburu terhadap para leluhur pendahulunya yang lahir bertepatan dengan masa kedikjayaan Agama Hindu dan Budha. 
Sebagai rangkaian acara penutup, digelar pula pengguntingan rambut balita secara bergiliran oleh para pelaku barasanji dibantu oleh kedua orang tua balita bersangkutan yang berputar dengan menenteng baki berisi dupa dan lilin menyala di sekitarnya.
Usai pengguntingan rambut, acara disusul rebut merebut songkolo dan telur hias oleh anak-anak dan para ibu rumah tangga yang turut hadir  menghadiri acara tersebut. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar