Kekayaan
dan kebesaran khasanah budaya Kabupaten Kepulauan Selayar kembali ditonjolkan
dalam serangkaian kegiatan Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW 1433 H di
daerah ini yang digelar dalam bentuk tradisi Maulid Panggarra’ Pandang.
Sebuah
tradisi turun temurun yang telah mulai ditumbuh kembangkan oleh masyarakat
Dusun Kaburu, Desa Kaburu, Kecamatan Bontomanai sejak saat pertama kali
masuknya syiar Islam ke Kabupaten Kepulauan Selayar.
Tak
heran, bila tradisi rate yang memeriahkan peringatan Maulid Panggarra Pandang
di Desa Kaburu, sedikit banyak mengalami perbedaan lirik dengan rate yang
digelar di desa lainnya.
Sebab
liriknya, masih merupakan warisan murni budaya Gantarang Lalang Bata sebagai
pusat awal berkembangnya syiar agama Islam di Kabupaten Kepulauan Selayar. Meski pada
akhirnya, lirik rate ini mulai banyak dirubah oleh warga masyarakat di kampung
lain.
Terlebih
lagi, setelah masuknya salah seorang penyebar agama Islam bergelar Saiyed yang
selanjutnya tinggal mendiami Desa Parak dan mulai menumbuh kembangkan tradisi
barasanji ini.
Perayaan
Maulid Panggarra Pandang ini tak lebih dari sekedar budaya warisan leluhur yang
prosesinya tak pernah lepas dari iringan lantunan lagu-lagu pujian dalam bentuk
tradisi barasanji yang turut dimeriahkan oleh dua buah alat musik bantu
tradisional berupa rebab.
Selain
juga, terdapat sedikitnya lima buah kitab barasanji yang merupakan pedoman bagi
para pelaku baransi, tatkala sedang melantunkan lagu-lagu pujian kepada
Rasulullah SAW sebagai nabi panutan terakhir sepanjang masa.
Kelima
kitab barasanji tersebut sengaja diletakkan diatas alas bantal sebagai simbol
penghormatan Ummat Islam terhadap kitab berisi puji-pujian kepada Rasul panutan
sepanjang zaman itu.
Sementara
itu, dibelakang kelompok pelaku barasanji duduk 19 orang remaja berusia belia
dan beberapa orang remaja putra yang bertindak sebagai pelaku Panggarra’
Pandang yang sekaligus menjadi pelengkap kehadiran 20 orang pelaku barasanji
yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan alim ulama di
kampung tersebut.
Sedang
di tengah lingkaran pelaku barasanji terlihat penempatan dua buah baki bundar berisi
pisang susu atau yang dalam dialek bahasa Selayar, kerap diistilahkan dengan
sebutan loka dadi’. Sedangkan, baki kedua diisi dengan songkolo beras
ketan putih yang ditutup dengan penutup plastik, berikut selembar kain putih di atasnya.
Kedua
makanan tradisional yang diletakkan tepat ditengah-tengah lingkaran pelaku
barasanji dengan beralas baki ini selanjutnya akan disajikan kepada kelompok
pelaku barasanji dan tamu-tamu undangan lain, setelah ditamatkannya pembacaan
barasanji (sarakah) yang biasanya baru berakhir pada pukul 04.00 subuh.
Sajian
makanan tradisional seperti ini biasanya disuguhkan bersamaan dengan teh atau
kopi maupun kue-kue tradisional Kabupaten Kepulauan Selayar lainnnya, semisal :
kue tolobang rampa, pawa dan kue bolu.
Acara
peringatan maulid seperti ini, biasanya diselenggarakan selama dua hari. Dimana
hari kedua adalah merupakan acara puncak atau inti dari seluruh rangkaian acara
sebelumnya. Kegiatannya sendiri, digelar sekira pukul 16.00 wita, atau ba’da
shalat Ashar.
Di
hari kedua, acara kembali diawali dengan tradisi A’rate dengan mengalunkan
lagu-lagu pujian terhadap Rasulullah SAW yang rutin diperingati hari
kelahirannya pada setiap bulan Maulid.
Dalam
prosesi A’rate untuk hari kedua, pelaku barasanji tinggal akan menamatkan
bacaan jus pertama kitab barasanji atau yang bagi masyarakat lokal setempat,
kerap diistilahkan dengan bacaan sarakah.
Pada
saat bersamaan, Jamaah pelaku barasanji akan berdiri dengan posisi berbanjar
atau memanjang untuk melakukan penamatan bacaan atau yang dalam istilah Arabnya disebut “Peho”.
Berbeda
dengan rangkaian acara sehari sebelumnya, pada acara puncak semua jenis makanan
tradisional seperti songkolo beras ketan putih dan songkolo beras ketan hitam
akan dihadirkan lengkap di dalam ruangan masjid dalam bentuk kemasan bakul dan
keranjang berbahan baku anyaman bambu.
ratusan telur hias yang pada bahagian ujung
atasnya dipajang selembar uang kertas pecahan seribu rupiah. Berikutnya,
dihadirkan pula ilustrasi kubah Masjid bersusun dua dengan pernak-pernik baju
kaos dan makanan ringan yang menggelantung pada bagian bawahnya.
Sebagai
pelengkap kemeriahan acara inti, masyarakat setempat juga tak luput
menghadirkan puluhan sisir pisang punu’ atau yang dalam dialek bahasa Selayar
akrab diistilahkan dengan sebutan loka punu’. Pisang-pisang ini diletakkan di
dalam wadah puluhan biji baki bundar.
Tak
hanya pisang, kemeriahan acara inti juga turut diwarnai dengan kehadiran buah
mangga dan buah nanas. Berikut, kehadiran lima unit rumah-rumah hias yang diisi
dengan pisang punu, songkolo, kue tolobang, rokok gudang garam merah, dan korek
api.
Serta
tidak ketinggalan pula, perlengkapan dupa dan lilin yang tepat diletakkan di
bagian kolongnya. Menurut tokoh adat kampong itu, H. Baso Daeng, konon ritual
semacam ini adalah simbol penghormatan masyarakat Dusun Kaburu terhadap para
leluhur pendahulunya yang lahir bertepatan dengan masa kedikjayaan Agama Hindu
dan Budha.
Sebagai
rangkaian acara penutup, digelar pula pengguntingan rambut balita secara
bergiliran oleh para pelaku barasanji dibantu oleh kedua orang tua balita
bersangkutan yang berputar dengan menenteng baki berisi dupa dan lilin menyala
di sekitarnya.
Usai
pengguntingan rambut, acara disusul rebut merebut songkolo dan telur hias oleh
anak-anak dan para ibu rumah tangga yang turut hadir menghadiri acara tersebut. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar